Pola Pembinaan Pustakawan Swasta
A. Pembinaan
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (ed
3, 2012) pada entri bina, terdapat kata turunan membina diartikan
sebagai mengusahakan supaya lebih baik (maju). Pada UU no 43 tahun 2007
maupun Peraturan Pemerintah no 24 tahun 2014 tidak ditemukan arti kata
pembinaan. Di segi lain, dalam sebuah pertemuan dengan Arsiparis
disebutkan bahwa membina artinya membantu pengembangan dan peningkatan
sumber daya manusia (SDM), sistem, manajemen dll.
Bila membina yang diartikan Perpustakaan
Nasional RI (selanjutnya disingkat Perpusnas) mirip dengan penafsiran
Arsiparis tadi, maka Perpusnas bertugas meningkatkan dan memperbaiki
SDM, sistem, manajemen, operasional perpustakaan, mengembangkan standar
dll. Karena sifatnya membina, maka yang dibina ialah perpustakaan
pemerintah maupun perpustakaan swasta. Makalah ini mencoba memandang
tugas pembinaan oleh Perpusnas terhadap perpustakaan swasta dalam
konteks Indonesia.
B. Pustakawan Fungsional
Di kalangan Pustakawan yang PNS dikenal
istilah Jabatan Fungsional Pustakawan (JFP) artinya Pustakawan yang
mengikuti alur fungsional. Kenaikan pangkat, syarat, ketentuan masuk
diatur. JFP dikaitkan dengan tunjangan fungsional; besarnya tunjangan
fungsional berbeda antara satu jabatan dengan jabatan lain. Misalnya
tunjangan JFP berbeda misalnya dengan tunjangan fungsional Guru atau
Peneliti atau Jagawana. Adapun penerapan pada sektor swasta akan
menghadapi kendala sbb:
- Dalam JFP yang PNS, dirinci tugas masing-masing jenjang Pustakawan. Misalnya Pustakawan tingkat penyelia tidak boleh melakukan tugas 1 jenjang di atas dan di bawahnya. Contoh tidak boleh mendeskripsi subjek. Hal ini sulit dilakukan untuk Pustakawan swasta karena perpustakaan swasta lazim merupakan Pustakawan perpustakaan tunggal (one person library). Dalam sistem Pustakawan perpustakaan tunggal, seorang Pustakawan mengerjakan segala-galanya, mulai dari pemilihan sampai ke pengerakan, membersihkan ruangan sampai dengan penelusuran informasi. Jelas konsep yang dikemukakan Perpusnas tidak berlaku
- Perbedaan gaji yang semakin menipis antara Pustakawan swasta dengan pegawai negeri. Sejak tahun 2000an belum ada penelitian mengenai besaran gaji Pustakawan swasta, namun yang jelas rata-rata tidak ada yang di bawah UMR (untuk DKI Jakarta sekitar 2,2 juta rupiah per bulan). Di sektor swasta, dikenal tunjangan tahunan, tantiemen, tunjangan lain yang berbeda variasinya. Untuk Pustakawan PNS tunjangan yang diterima hanyalah gaji bulan ke 13, lazimnya dilakukan pada bulan Juni Juli untuk membantu menyekolahkan anak. Di sektor swasta, berbeda ada tunjangan tahunan yang bervariasi pula. Ada yang mulai dari tunjangan bukan ke 13 sampai dengan bulan ke 18.
- Menyangkut soal produktivitas ilmiah rasanya tidak ada perbedaan antara pustakawan PNS dengan yang swasta, dalam arti mereka jarang menulis.
- Angka kredit susah diterapkan karena yang untuk PNS saja masih dirasakan berbelit dan jumlah poinnya sedikit. Hal ini sudah lama dikiritik namun tetap saja swasta sering menafsirkan sendiri. Misalnya di perpustakaan Unika Atma Jaya Jakarta, jenjang kepegawaian dibagi tiga sesuai dengan golongan Dosen. Prestasi kenaikan pangkat didasarkan atas karya tulisan.
- Pola penerimaan Pustakawan baik negeri maupun swasta yang berbasis pelatihan seharunsya dibuang jauh-jauh. Entah mengapa, Perpusnas masih saja melakukan pendidikan dan pelatihan untuk menjadi Pustakawan, paling banyak 628 jam yang sama dengan 3 bulan. Mereka setara dalam JFP dengan Pustakawan yang lulus pendidikan formal seperti D3 atau Sarjana atau bahkan juga Magister.
B. Masalah Bertautan dengan Perpustakaan Swasta
UU No. 43 tahun 2007 beserta turunananya
memungkinkan seseorang menjadi Pustakawan melalui pelatihan yang
diselenggarakan oleh Perpusnas c.q. Pusdiklat dan atau badan yang
ditunjuk. Hinga kini sudah ada pusdiklat yang diselenggarakan oleh badan
peprustakaan tingkat provinsi. Pelatihan ini berlangsung selama 628 jam
atau ±3 bulan. Bagi perusahaan swasta, praktis tidak mengizinkan
karyawannya mengikuti pelatihan selama 3 bulan dengan tetap menerima
gaji; hal ini hanya dimungkinkan pada manajer puncak untuk pelatihan
taraf nasional seperti Lemhanas.
Persyaratan D2 sebagai syarat minimum
untuk menjadi Pustakawan bagi PNS tidak selalu berlaku bagi perpustakaan
swasta. Ketika berbagai PT membuka program D2, sektor swasta tidak
terlalu yakin akan kompetensi seorang lulusan D2 karena itu program D2
dihapus diubah menjadi D3. Sejak tahun 1998, Ditjen Pendidikan Tinggi
melarang PT membuka program D2.
Adapun syarat minimum D2 untuk tenaga
perpustakaan sekolah dikeluarkan karena ketika lembaga pendidikan tinggi
diminta menyediakan lulusan D3 untuk berkarya di pepustakaan sekolah,
dalam simulasi ternyata memerlukan puluhan tahun. Karena itu kompetensi
diturunkan menjadi D2. Hingga kini hanya ada 2 lembaga yang
menyelenggarakan pendidikan D2 yaitu Universitas Terbuka dan STISIP
Petta Baringeng di Sopeng (Sulistyo, 2013).
C. One Person Library
Dalam Peraturan Menteri Pendayagunaan
Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi No. 9 tahun 2014 dibeda-bedakan
tugas antara Pustakawan menurut Jabaran Fungsional Pustakawan (JFP),
misalnya siapa yang berhak melakukan deskripsi tingkat 2 dan 3
(Pustakawan penyelia lalu Pustakawan tingkat ahli). Hal itu merupakan
tugas sederhana karena siapa saja dapat melakukannya dengan mengunduh
data bibliografis dari WorldCat atau Library of Congress Online
Catalogue; juga dari pangkalan data Perpusnas bila ada data
bibliografisnya serta dapat diakses dari seluruh Indonesia.
Keadaan di atas bertentangan dengan kondisi perpustakaan swasta, karena perpustakaan swasta cenderung berupa One Person Library
(OPL) semuanya dilakukan oleh Pustakawan tunggal. Jadi bila Peraturan
Menteri diterapkan pada perpustakan swasta, maka para OPL melakukan
kegiatan dari Pustakawan Pratama s.d. Pustakawan Utama.
D. Tunjangan Keuangan
Pustakawan menjadi JFP mengharapkan
tunjangan pustakawan,yang terkini berlaku mulai April 2014. Bagi sektor
swasta, ketentuan ini diterima mendua; di satu sisi ingin melaksanakan
ketentuan itu namun di segi lain, perusahaan juga memperhatikan komponen
keuangan. Gaji Pustakawan swasta bervariasi, sejak 1985 belum ada
kajian gaji Pustakawan swasta.
E. Masa Usia Pensiun
Bagi Pustakawan sektor swasta, mereka
lebih mengharapkan ketentuan pensiun yang identik dengan PNS. Yang
diharapkan ialah perpanjangan usia pensiun, khusunya untuk perguruan
tinggi swasta dan sekolah swasta.
F. Durasi di Jabatan
Dalam sebuah pertemuan informal dengan
pejabat Perpusnas terlontar gagasan pengaturan oleh birokrasi, misalnya
Pustakawan swasta yang mengikuti JFP harus bertahan 5 tahun di jabatan
semula. Hal ini rasanya tidak masuk akal mengingat swasta punya pola
sendiri menyangkut pembinaan karyawannya.
G. Ketidakberdayaan Perpustakaan Nasional sebagai Lembaga Pembina
Bila melihat kedudukan Perpusnas yang
sangat kuat dalam hal pembinaan, maka sudah sepatutnya Perpusnas membina
semua jenis perpustakaan sebagaimana diamanatkan oleh undang-undang.
Dalam kenyataan, Perpusnas mengalami ketidakberdayaan menghadapi soal
pembinaan lintas sektoral. Hal itu nampak pada hal berikut:
- Pengangkatan Pustakawan atau kepala perpustakaan Badan tingkat provinsi sepenuhnya didasarkan pertimbangan kepala daerah dengan alasan otonomi daerah. Dalam hal ini Perpusnas lemah karena membiarkan mereka yang memegang jabatan kepala perpustakaan hampir (tingkat provinsi) 95 atau bahkan 100% tidak punya latar belakang pendidikan pustakawan. Periksa misalnya Buku Agenda Perpustakaan Nasional 2014. Padahal UU No.43 Pasal 40 jelas-jelas menyatakan kualifikasi magister. Hebatnya lagi karena jabatan mereka sebagai kepala badan, langsung menjadi pembina untuk provinsi [sic]. Apa yang mau dibina kalau tidak punya latar belakang kepustakawanan (Keilmuan dalam ranah khusus Ilmu Perpustakaan)? Apa yang mereka tahu soal literasi informasi? Atau perpustakaan digital?
- Menyangkut tenaga perpustakaan sekolah. Semasa Menteri Pendidikan Bambang Sudibyo mengeluarkan Peraturan Menteri yang menyatakan bahwa kepala perpustakaan sekolah dijabat oleh lulusan D2 Ilmu Perpustakaan. Peraturan Menteri itu diganti total oleh menteri pendidikan berikutnya; kini yang menjadi kepala perpustakaan sekolah ialah guru yang memiliki jam mengajar kurang dari 12 kredit per minggu. Untuk mengisi kekurangan kredit maka Guru diangkat menjadi kepala perpustakaan sekolah [sic]. Untuk membekali (calon) kepala perpustakaan sekolah mereka diberikan penataran selama 120 jam, dalam praktinya hanya 60 jam! ; padahal ada Pustakawan lulusan D2 sampai D4, mereka ini hanya dijadikan staf perpustakaan sekolah. Kalau ada penataran yang kira-kira menguntungkan (misalnya ada honor atau kompensasi lain) yang datang adalah kepala perpustakaan sekolah (baca guru), namun kalau ada pertemuan lain yang disuruh hadir adalah pustakawan sekolah.
- Di lingkungan Kementerian Agama ada Instruksi Menteri Agama yang
menyatakan bahwa yang berhak menjadi kepala perpustakaan STAIN, IAIN dan
atau UIN adalah Dosen, bukan Pustakawan. Dosen ini hampir semuanya
tidak pernah memperoleh pendidikan Pustakawan (bandingkan dengan Pasal
40 UU No.43/2007). Di segi lain,
Kementerian Agama mengirim banyak tenaga perpustakaan untuk mengikuti
program magister, dengan harapan bahwa merekalah yang menjadi kepala
perpustakaan STAIN, IAIN atau UIN (bandingkan dengan Pasal 40 UU No. 4
tahun 2007) ternyata mereka hanya menjadi staf perpustakaan saja.
Maka upaya pembinaan perpustakaan swasta
seperti yang diterapkan pada Pustakawan PNS menghadapi berbagai kendala
disebabkan sifat, kemampuan, kebijakan yang (sangat) berbeda antara
sektor swasta dengan pemerintah. Mungkin pembinaan yang dapat dilakukan
oleh Perpusnas dibatasi pada tenaga perpustakaan sekolah swasta dan PTS,
sedangkan untuk jenis perpustakaan lain kurang cocok.
Di segi lain, kalau dikatakan bahwa JFP
yang PNS selama bertahun-tahun hanya berkisar sekitar 2,500 s.d. 3,500
Pustakawan fungsional akan menimbulkan pertanyaan mengapa jumlahnya
sedikit dan ajeg selama bertahun-tahun? Padahal jumlah lembaga
pendidikan tinggi untuk Ilmu Perpustakaan tingkat sarjana berjumlah 18
lembaga, D3 sampai 25 lembaga (Sulistyo, 2013). Sehingga setiap tahun
sekitar 400 lulusan Sarjana dan lebih dari 500 Diploma 3. Sebahagian ada
yang bekerja sebagai PNS namun mengapa tidak mengikuti jalur
fungsional?
Dalam sebuah penelitian sederhana tahun
2010, Pustakawan tidak mau mengikuti jalur fungsional karena angka
kredit yang terlalu kecil (dari 0.003); prosedur yang dianggap terlalu
birokratis; kenyataan bahwa banyak mantan pejabat yang seharusnya tidak
dapat menjadi Pustakawan fungsional karena ketentuan peraturan justru
lolos menjadi Pustakawan fungsional. Hal terakhir ini menyebabkan
Pustakawan utama diisi oleh mantan penjabat dengan (maaf) produktivitas
ilmiah yang cenderung sangat kurang. Mungkin pengecualian dengan mantan
Pustakawan Utama dari UGM (Bapak Purwono, M.Si dan Bapak Lasa HS, M.Si)
yang produktif.
Jalur pelatihan yang menjadikan seseorang
JFP sedikit banyak mengecewakan Pustakawan lulusan pendidikan formal.
Berkali-kali Diklat pelatihan Pustakawan dikritik sebagai pendidikan
satu arah, terlalu dipaksakan namun tetap berlangsung puluhan tahun.
Alasan bahwa Indonesia kekurangan tenaga Pustakawan menunjukkan bahwa
Perpusnas menafikan eksistensi lembaga pendidikan formal.
Bibliografi
Buku Agenda Perpustakaan Nasional 2014. Diedarkan oleh Perpustakaan Nasional.
Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur
Negara dan Reformasi Birokrasi, nonor 9 tahun 2014 tentang jabatan
fungsional pustakawan dan angka kreditnya.
Peraturan Pemerintah nomor 14 tahun 2014 tentang pelaksanaan Undang-Undang nomor 43 tahun 2007 tentang Perpustakaan.
Sulistyo-Basuki. 2013. LIS Education and Quality Assurance System in Asia Pacific : Indonesia. Paper for Call for Chapters, Quality Assurance System in Asia Pacific